Sabtu, 04 Desember 2010

Sebuah prosa tentang hidup

Kemarin tepatnya tanggal 04 Desember 2010.

Saya sedang berjalan membawa langkah saya kembali ke tempat peristirahatan, rumah saya. Saati itu di tangan kiri saya, saya memegang sebuah buku paket Bahasa Indonesia dengan ketebalan 200 halaman dan panjang 25 cm. Sedang di tangan kanan saya, saya menggenggam sebuah payung pink.

Saat itu hujan sedang turun, membuat pikiran saya teduh dan terbuka. Saat itu saya mulai memikirkan beberapa hal dalam hidup saya. Dimulai dengan 'Siapa orang yang paling berarti dalam hidup saya?'. Dan saat itu, saya merangkai jawabannya dalam sebuah puisi,

Satu hal yang sangat berarti dalam hidup saya
Adalah senyum ibu saya

Secantik Kembang Api (cerpen buat teman2 muslimah yg saya cintai)

Cipratan cahaya warna-warni merekah di langit malam. Mereka seakan menyambut kedatanganku dengan gembira dan riang, yang kuharap juga mencerminkan Parisian—orang Paris—yang ramah. Kilapan spektrum merah, hijau, biru, emas melengkapi indahnya monumen L’arc de Triomphe yang saat ini tepat berada di atas mobilku. Kecantikan kembang api benar-benar menyihirku, wajar saja kalau Paris dinamakan La Ville lumière atau kota Cahaya.


Namaku Fatimah. Umurku 15 tahun. Kehidupanku sungguh luar biasa. Sebenarnya aku anak yang biasa-biasa saja, namun orang tuakulah yang luar biasa. Ayahku adalah seorang konsultan. Bersama Duta Besar, ia mewakili dan merepresentasikan Indonesia di Luar Negeri, dan mengakibatkan aku pindah-pindah sekolah setiap tahunnya dan tentu aku harus beradapatasi lagi.


Adaptasi ku berbeda karena aku mengenakan Jilbab. Tak hanya memperkenalkan diriku, akupun harus sekaligus memperkenalkan apa yang aku kenakan—jilbab—dan tentunya agamaku. Adaptasi selalu menjadi masalah utama bagiku. Tepat kemarin siang, aku baru mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temanku di Maroko, besok pagi aku sudah harus berjuang menghadapi orang-orang baru di Paris, kota yang penuh misteri ini, Ya Allah tolonglah aku!

Mobilku akhirnya berhenti di depan hotel yang lumayan bagus. Ah, masa bodo hotel itu bagus atau tidak yang penting aku bisa tidur malam ini.


“Fatimah, kamu harus tidur yang nyenyak ya. Besok kamu tidak akan tau, kejutan apa yang akan kamu dapatkan di sekolah besok,” kata Ibu, mengiringiku ke tempat tidur.

Hanya dalam hitungan detik, aku sudah pindah dunia ke dunia mimpi. Aku berada di sekolah baruku yang bentuk bangunannya mirip sekolah Harry Potter. Aku menyusuri lorong mencari Hermione Granger karena kelas pertamaku adalah arithmancy, mungkin Hermione dapat membimbingku. Tapi, belum aku menemukan Hermione aku sudah menemukan kelas arithmancy. Dengan ragu aku melangkah masuk.

”Pergi kau dari kelasku! Tidak tahu malu! Datang terlambat pada hari pertama, terlebih lagi kau tidak memakai sepatu,” guru kelas itu berteriak kepadaku, ”dan untuk apa kau menggunakan tudung sarang lebah di sini?”

Aku menyadari yang ia maksud adalah kerudungku, ”maaf Bu, tapi ini...”

”Tapi apa? Cepat bangun dan sholat subuh!” tiba-tiba suaranya berubah menjadi suara ibuku dan ternyata emang suara ibuku yang sedang ada di depan pintu kamar.

Ternyata tadi mimpi. Aku melamun. Mengumpulkan nyawa yang masih bertebaran di pelosok kamar, menari-nari melewati lampu gantung, dan bersembunyi di balik gorden. Satu per satu nyawa kembali ke tubuhku, otakku mulai dapat bekerja. Aku berpikir, apakah arti dari mimpiku? Sebuah pertanda atau hanya implementasi dari kegugupanku akan sekolah baru nanti? Sebaiknya aku berjaga-jaga.

***


“Lycée International of St Germain-en-Laye”

Papan nama sekolah berwarna biru yang terbuat dari kayu itu begitu cantik, namun meneror diriku dengan membuat kupu-kupu di perutku makin lincah berterbangan seakan tak puas sudah membuatku mulas sepanjang perjalanan ke sekolah. Seperti bangunan lainnya di paris, sekolah itu tampak tua dengan gaya klasik. Dindingnya tanpa cet hanya batu bata merah, kaca-kaca jendelanya tinggi, serta menara-menara di setiap sudut dengan atap kerucut seperti di negri dongeng. Gedung yang mirip istana boneka itu dikelilingi rerumputan hijau, dan terdapat hutan di belakangnya.


Aku berjalan di lorong sekolah itu ditemani ibuku dan madame Molé. Mereka terus berbincang-bincang mengenai program apa yang akan aku jalani selama di sekolah ini. Madame Molé mengatakan bahwa aku akan mengambil programinternational American section karena aku tidak bisa berbahasa Prancis dan aku lama di Amerika. Katanya lagi, kelas American section lebih heterogen dengan anak-anak yang lebih terbuka dan mudah bergaul padahal aku baca di internet kalau orang eropa itu dingin dan tak acuh. Untunglah, karena itu akan memudahkanku beradaptasi.


Akupun sampai di depan kelas American section. Madame Mole benar, kelas ini sungguh ramai. Maksudku, bukan ramai yang berarti banyak anak bandel tapi ramai karena semuanya aktif di kelas. Saat aku datang sambutannya luar biasa. Mereka semua serentak diam, kontras sekali dengan kondisi sebelumnya. Mereka memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala seakan aku Lady Gaga.


Tepat seperti dugaanku, mereka pasti akan memandang aneh jilbabku. Terlebih jilbabku bukan jilbab moderat yang asal menutup kepala saja. Yap, dimanapun aku berada selama aku masih di bumi Allah, aku akan selalu menutup aurat dengan sempurna yaitu dengan kerudung dan pakaian panjang dari atas sampai bawah.

Bonjour, silakan masuk ke dalam kelas,” ucap Miss Kathrine—guru yang sedang mengajar—dengan senyumnya yang begitu lebar. Lumayan menghapus grogiku, sedikit.

Ibuku mencium dahiku lalu mengucapkan ‘good luck’ sambil berlalu.


Perjuangan dimulai. Aku berdiri di depan kelas memperkenalkan diri. Tatapan aneh masih menghujaniku. Beruntung Miss Kathrine adalah orang yang sangat hangat dan bisa melihat perbedaan sebagai suatu yang indah yaitu kekayaan budaya. Ia menanyaiku tetang Indonesia, bagaimana cuacanya, kegemaran orang-orang Indonesia, hingga ke sepak bola Indonesia yang akupun malas menceritakannya.


Miss Kathrine mempersilakanku duduk. Aku duduk di pojok belakang kelas. Di depanku duduk gadis pirang yang dari tadi paling sinis melihatku.

Ziiiinnngg… tiba-tiba gadis pirang itu menengok dengan cara berlebihan, rambutnya terlempar ke depan, alisnya naik sebelah. Ia berkata, “Kau radikalis atau apa?”

“Aku masih lima belas tahun. Sama seperti kalian. Apakah kalian sedang sedang berpikir aku akan mengebom menara Eiffel sepulang dari sekolah?” jawabku agak sinis.

Gadis berkacamata yang terkesan kutu buku di sebelahku tiba-tiba terlihat tertarik denganku, ”Justin Bieber melaksanakan debut albumnya saat dia lima belas tahun,” katanya.

”Kelsey, itu agak keluar topik,” kata Gadis pirang.

”Sori Savannah, aku hanya ingin meberi contoh kalau banyak hal yang bisa anak lima belas tahun lakukan,” kata gadis bernama Kelsey itu.

”Kembali ke koridor pebicaraan kamu anak aneh radikalis,” gadis pirang itu kembali meracau namun disela oleh Kelsey,

”menurutku kata-katamu terlalu kasar, Savannah,” kata Kelsey, ”setidaknya dia orang baru.”

”Kau tahu, mr. Sarkozy sudah mengajukan rancangan undang-undang pelarangan benda itu,” Savannah si gadis pirang menunjuk kerudungku.

”Memakai kerudung bukan kriminal dan tidak merugikan orang lain dan bukan urusan kamu aku mau pakai baju apa saja karena ini hak asasi!” kataku agak membentak.

”Mungkin aku harus agak menjauh supaya tidak kena virus anehnya dia,” kata Savannah kepada Kelsey.

***


Ingin rasanya sisa hari itu kuhabiskan di toilet tanpa ada yang melihat. Bosan aku seharian jadi boneka manequin berjalan yang seakan-akan ada hanya untuk diliatin. Paling mengesalkan memang, jadi beda untuk sesuatu yang benar tapi dianggap aneh. Aku bahkan tidak tahu apa yang mereka pikikan. Radikalis, teroris, orang aneh, padahal aku sebenarnya sama saja dengan mereka hanya beda idealisme.


”EHH.. Hello, di dalam ada siapa ya?” suara anonymous dari luar toilet menyadarkanku dari lamunanku.

Kubuka pintu toilet dan langsung pergi ke kelas. Di kelas sedang tidak ada guru, semua murid tampak ngobrol satu sama lain. Aku mendekati sekumpulan anak asia yang sepertinya ramah, siapa tahu aku bisa dapat teman.

”Hey guys,” kataku sok akrab.

”Hey,” jawab salah satu gadis sipit dengan senyuman agak dipaksa. Suasana jadi canggung.

”Well, kita sekarang harus ke gymnastic karena lima menit lagi olahraga,” kata salah satu cowok yang mungkin orang korea karena wajahnya mirip Goo Jun Pyo.

Semua pergi ke luar kelas. Tinggal aku sendirian di dalam. Lagi-lagi aku dicuekin.

***


Aku ke ruang ganti dan mengganti bajuku dengan baju training yang panjang. Saat keluar dari kamar ganti sontak pada melihat ke arahku. Ehem. Sudah biasa. Tapi duo repot tidak biasa.

“Kamu tidak merasa tertekan?” tanya Kelsey dengan nada lembut tapi menusuk.

”Kasihan ya di zaman modern saat feminis berkembang pesat masih ada perempuan kebebasannya terkekang,” sambung Savannah.

“Tau nggak? Kalian tuh, yang anti kebebasan. Karena omongan kalian yang bikin aku mau muntah, hari pertama aku di sekolah jadi buruk banget, sangat terkekang. Capek tau, dengerin kalian?” amarahku memuncak.

”Orang aneh!” kata Savannah dengan ekspresi merendahkan.

”Aneh? Siapa yang aneh? Orang berpenampilan tertutup karena agamanya sekaligus untuk menjaga diri, atau orang yang mejadikan diri atau bodinya komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas, hah?” seruku lalu pergi menjauh sebelum terjadi kerusuhan lebih lanjut.

***


Guru olahraga datang. Semuanya berkumpul dengan sudah mengenakan baju olahraga. Seperti biasa aku beda sendiri. Sementara anak-anak perempuan yang lain menggunakan kaos longgar dan celana pendek, aku mengenakan kerudung dan baju panjang gamis berbahan kaos.

Olah raga kali ini adalah berlari. Salah satu kemampuan tak terdugaku. Aku tahu mereka semua memandang remeh karena penampilanku yang tidak biasa tapi akan aku buktikan kalau jilbab tidak menghalangi aktivitas olahraga apalagi mengekang.

”Mungkin kamu mau ke toilet lagi seperti tadi menghabiskan dua jam untuk menangisi hidup kamu,” kata salah satu anak cowok yang memperolokanku supaya dapat perhatian dari anak-anak lain.

”Kita lihat saja,” kataku.

Sekarang giliranku untuk menunjukkan kemampuanku. Guru olah raga sudah siap disamping lapangan dengan peluit, stopwatch, dan pencatat skornya. Aku bersedia ancang-ancang di line start bersama lima anak lainnya. Saat ditiupkan peluit, aku berlari sekencang-kencangnya hingga aku bereada di paling depan. Anak lain berusaha menyusulku namun aku tetap berlari sekencang mungkin sampai tiba di garis finish.

Aku bisa mendengar sorak sorai teman-temanku. Yeah, aku berhasil. Sekarang mereka mengerumuniku.

”Tadi itu keren!” kata anak cowok yang tadi mengejekku.

”Thanks,” jawabku.

”Kau tahu yang cewek yang kau kalahkan itu, adalah juara Arrondesemen, kau bisa menjadi atlet!” seru Savannah.

”Savannah, baru dua detik yang lalu kau menghina dia, kita harus minta maaf dulu. Begini Fat, setelah kita pikir-pikir ucapan kamu banyak benarnya juga, kami juga tidak seharusnya berkata kasar dan menghina kamu,” kata Kelsey.

”Oh, lupakan. Senang rasanya dapat teman baru,” kataku bahagia.

”Bagaimana kalau malam ini kita ke Musee du Louvre? Akan ada perayaan 14 juli, pasti banyak festival, ada tarian, musik dan kembang api, ” usul Kelsey.

”Sekaligus untuk menyabutmu di Paris,” timpal Savannah.


***


Musee du Louvre malam hari begitu indah. Bangunan yang terlihat seperti istana terang benderang dan sangat megah. Piramid du louvre di depannya tak kalah cantik, bangunan dari kaca itu terlihat seperti berlian. Keindahan Musee du louvre lengkap dengan kehadiran dua teman baruku Kelsey dan Savannah.

”Sebentar lagi ada kembang api, ayo kita naik ke atas!” Seru Savannah.

Kami berlari ke balkon atas Musee du Louvre lalu duduk di kursi batu-bata.

Duarr.. duaaarrr.. duaaarr...

Suara dari reaksi gas-gas alkali yang bereaksi menghasilkan berbagai macam cahaya indah tersebut membahana. Semua orang yang menontonnya tampak bahagia.

”Kembang api bagus karena warna-warni,” kataku sambil menatap kembang api.

”Tidak akan sespektakuler yang kita lihat sekarang, kalau semua warnanya hijau,” timpal Savannah.

”Kembang api ada pada diri setiap orang,” kataku lagi.

”Aku dapat melihat warna cahayamu yang berbeda yang menunjukkan idealisme dan kekuatan seorang anak perempuan, untuk itu aku suka kamu, bukan dalam arti yang aneh loh, hehe,” kata Savannah menatapku.

”Kembang api yang pasti ada pada diri seseorang juga tidak akan menyala berpijar kalau tidak disulut kan?” kata Kelsey.

”Betul sekali. Butuh keberanian, sifat jujur terhadap diri sendiri, serta optimisme untuk dapat jadi diri sendiri dan memancarkan sinar kembang api dalam diri kita,” jawabku.

”Kembang api, berpijar, warna-warni, dan sangat cantik. Begitulah kita,” kata Kelsey.

Aku, Kelsey dan Savannah berpegangan tangan semakin erat, melihat kembang api memecah langit Paris.

SELESAI

"baby, You are a firework, come on let's your color burst. Make them go 'oh, Wow, ow' as you shoot across the sky"


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------by: Adzkia salima (my sister)